Senin, 15 Juli 2013

Hukum Memakai Niqob(Cadar)

Assalamu'alaikum Warohmatullahi Wabarakaatuh ...





Bagaimana Hukum Memakai Cadar?” ketegori Muslim. Sebagaimana kita ketahui, banyak dari umat muslimah yang menggunakan cadar untuk menutupi wajahnya. Apakah ada hukum fikih yang mengatur hal tersebut? Kemudian bagaimana kaitannya dengan aurat muslimah berupa wajah dan telapak tangan. Wallahu’alam.
Muhamad Kasyful
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.
Dalam kesempatan ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat itu dan berkenalan dengan dalil masing-masing. Sehingga kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini bukan mencari titik perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar kedua pendapat ini. Agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak.
1. Kalangan yang Mewajibkan Cadar
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain:
a. Surat Al-Ahzab: 59
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada kesepakatan di antara mereka tentang makna `jilbab` dan makna `menjulurkan`.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di surat An-Nuur yang berbunyi , Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik secara bahasa maupun secara `urf . Karena yang diperintahkan jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.
b. Surat An-Nuur: 31
Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahih dari para shahabat termasuk riwayat Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl dan cincin. Riwayat ini menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c. Surat Al-Ahzab: 53
`Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi Allah.
Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka .
Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra. bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang agung.
Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak ada kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`. Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al-fariq. Karena para istri nabi memang memiliki standar akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.
`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.`
d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
`Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya dan memakai sarung tangan`.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka. Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau melarangnya saat berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang untuk melakukan sesuatu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya hukumnya wajib?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat.
e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya`.
Menurut At-turmuzikedudukan hadits ini hasan shahih. Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.
f. Mendhaifkan Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi bahwa, Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini Sambil beliau memegang wajar dan tapak tangannya.
* * *
2. Kalangan yang Tidak Mewajibkan Cadar
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.
a. Ijma` Shahabat
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.
b. Pendapat Para Fuqoha bahwa Wajah Bukan termasuk Aurat Wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. . Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa dihindarkan.
Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya `al-Muhazzab`, kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab Al-Mughni 1: 1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
c. Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d. Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.
e. Perintah Kepada Laki-laki untuk Menundukkan Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan . Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,
Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah ancaman/dosa.
.
Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak relevan lagi.


Alhamdulillah, segala puji hanya untukNya dan selawat serta salam adalah untuk Rasulullah, ahli bayt, para sahabat baginda dan tabi’in semuanya.  Semoga Allah beri ganjaran setimpal dengan usaha mereka menyampaikan ilmu Allah di muka bumi ini

Alhamdulillah, antara perkara diluar jangkaan saya dalam memasuki era alaf baru ini ialah masih ramai anak-anak gadis atau wanita yang berminat dengan purdah dan berkeinginan pula memakainya.
Selepas seorang demi seorang sahabat-sahabat saya menanggalkan purdah mereka, menyimpan jubah-jubah mereka, menyingkatkan tudung-tudung mereka bahkan me’make-up’kan wajah-wajah mereka dengan pelbagai rasional dan alasan, saya jangka saya akan bertambah sepi di dunia yang serba mencapah pelbagai tahap kemajuan ini.  Saya sangka saya akan semakin tersisih dalam masyarakat Islam saya sendiri.  Namun Allah memberi keterangan yang nyata kepada saya, jika sesuatu itu secara fitrah dan syariat memang ada hujjah di sisiNya, tiada siapa yang dapat menghapuskan amalan tersebut dari kalangan wanita yang mahu memilih purdah sebagai salah satu cara mendekatkan diri kepadaNya.
Sering juga saya mendapat soalan-soalan dari kaum wanita yang bertanyakan tentang purdah, tentang hasrat untuk memakainya dan cara bermuamalah dengan masyarakat serta kerjaya apabila berniqab.

Oleh kerana kita berada di zaman banyak restoran dan kedai-kedai makan, maka antara soalan yang dikemukakan ialah bagaimana cara wanita berpurdah mahu makan di tempat umum?  Jika di Arab Saudi atau setengah restoran di Jordan, mungkin tiada masalah bagi wanita berniqab kerana di sana terdapat restoran yang mengasingkan ruang makan muslimin, muslimah dan keluarga.

Sebelum saya memberi respon tentang persoalan-persoalan di atas, sukalah saya berkongsi sedikit info di bawah bagi mereka yang berminat memakai purdah.  Ia adalah hasil kajian Harlina dan sahabat-sahabatnya di KUIS.   Sudah tentu tulisan di bawah kelihatan tidak sempurna namun ia mampu menyempurnakan  lagi  perbahasan sedia ada mengenai niqab.  Oleh itu, dinasihatkan agar membaca juga perbahasan-perbahasan lain yang dinukilkan di dalam kitab-kitab salaf, buku-buku moden dan juga web serta blog.
Sebenarnya, sebahagian persoalan saya sudah jawab di ruang komen itu sendiri dan sebahagiannya saya jawab melalui email.  Oleh kerana saya sering kesuntukan waktu menulisnya secara ilmiah, maka saya tidak paparkan di ruang hadapan blog ini.
Walaubagaimana pun, pandangan Harlina dan sahabatnya di bawah tidak mewakili pandangan saya secara peribadi.   Oleh sebab itu,  sehingga saat saya menulis ini, saya konsisten dengan jawapan-jawapan yang pernah diberikan di ruang komen.  Seperkara lagi harus disedari, walaupun Harlina dan sahabat-sahabatnya berpegang kepada hukum wajib, namun mereka tidak menolak pandangan sebahagian yang berpegang kepada hukum sunat berpurdah.   Jadi hukum memakai purdah tetap terdapat khilaf pandangan mengenainya.
Berdasarkan pengamatan peribadi saya, hukum memakai purdah sama ada wajib atau sunat berlandaskan nas-nas al-Quran dan hadis.  Jadi saya tidak dapati wujudnya ruang kepada mana-mana individu, organisasi atau kerajaan untuk menilai (judge) pemakai purdah sebagai ekstrim, syadid, kolot, ketinggalan zaman dan seumpamanya.
Bila kita memahami asas dan kaedah-kaedah matematik dengan baik, insya Allah kita mampu menjawab apa jua bentuk soalan yang dikemukakan.  Begitu juga dengan hukum memakai niqab, kita perlu memahami prinsip asas menutup aurat dan juga perbahasan-perbahasan pada perkara khilaf dengan baik, barulah kita akan merasa mudah melaksanakannya walau apa pun cabaran yang mendatang.  Selain prinsip mengenai hijab itu sendiri, kita berkewajiban memahami prinsip-prinsip Islam yang asas pada ilmu aqidah, syariat dan akhlak.  Ketiga-tiga struktur ilmu Islam ini jika difahami dengan baik, akan membantu kita menjadi muslim yang baik bukan sahaja pada penampilan, bahkan pada perkara yang menjadi akar dan buah pohon Islam itu sendiri yakni aqidah dan akhlak.  Justeru itulah Allah berkata di dalam surah al-A’raaf ayat 26,

Wahai anak-anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian menutup aurat kamu serta pakaian perhiasan dan pakaian taqwa itulah yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah dari tanda-tanda (limpah kurnia) Allah (dan rahmatNya kepada hamba-hambaNya) supaya mereka mengenangnya (dan bersyukur).

Insya Allah,  saya akan menyambung sedikit demi sedikit respon terhadap soalan mengenai pemakaian niqab di blog ini.
SAYA NAK PAKAI PURDAH, APA PANDANGAN AKAK ?

Bismillahirrohmaanirrohiim.
Segala puji hanya bagi Allah.
Kita memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya dan memohon keampunan
kepada-Nya. Kita juga memohon perlindungan Allah di atas segala kesilapan
dan kesalahan diri kita. Mereka yang diberikan petunjuk oleh Allah, maka tiada
siapa pun yang dapat menyesatkannya daripada petunjuk tersebut. Dan
barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak siapa pula yang dapat
memberikannya petunjuk. Aku bersaksi bahawa tiada Ilah (tuhan) melainkan
Allah dan tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahawa Muhammad adalah
hamba Allah dan Rasul-Nya.
Seringkali ana mendapat soalan begini, sama ada seseorang menemui ana face to face atau  menghantar SMS kepada ana.
SAYA NAK PAKAI PURDAH, APA PANDANGAN AKAK?
Ana suka mengingatkan ana dan sesiapa sahaja tentang beberapa perkara:
Selepas berbincang dengan Naqibah di sebuah institusi, alhamdulillah ana lebih mantap memahami hukum berpurdah setelah sama-sama mengkaji dengan Naqibah apakah sunat atau wajib yang sewajar-wajarnya menjadi pegangan kami? Oleh itu, kajian kami hendaklah berlandaskan pada kebenaran menurut al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ana sebelum ini berpendapat wajib.
Begitu juga naqibah ana.
Oleh yang demikian, kami sama-sama menyatakan hasil kajian kami mengapa kami meyakini wajib berpurdah. Kami juga mengeluarkan hujah-hujah ulama’ yang mengatakan purdah ini sunat atau harus. Pelbagai hujah dikeluarkan daripada kitab Fiqh sampailah kepada buku-buku ringan tentang wanita dan auratnya. (Hujah yang tidak menghukum WAJIB purdah bagi wanita). Mengapa?
Ini adalah bagi memastikan kedua-dua kami bukan bertaqlid membuta tuli atau sekadar memahami pada surface sahaja. Alhamdulillah, kami boleh memahami kitab bahasa Arab dengan baik.
Ana tunjukkan hujah-hujah bahasa melayu yang telah ana simpan selama pengkajian ana.
Naqibah juga menunjukkan hujah yang diyakininya.
Ada tiga hujah yang kuat mengatakan seperti berikut: (Boleh rujuk pelbagai Kitab Fiqh): Hujah-hujah lain sengaja tidak disenaraikan di sini kerana tidak kuat untuk menyaingi hujah wajib.
AL-QUR’AN
Ana jelaskan bahawa Surah al-Ahzab (33:59) menunjukkan perkataan ‘jalabibihinna’ yang ditafsirkan ‘tudung’ bagi sesetengah ulama’ dan ‘purdah’ bagi sesetengah yang lain.
HADIS
Ana jelaskan bahawa ada tiga hujah yang kuat mengatakan seperti berikut: (Boleh rujuk pelbagai Kitab Fiqh):
  1. Dalil yang paling banyak dibentang dalam mana-mana buku tentang AURAT WANITA ialah hadis riwayat Saidatina Aishah bahawa Nabi bersabda kepada Saidatina Asma’, “ Wanita apabila sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali ini dan ini”(Rasulullah s.a.w menunjukkan muka dan tangan).Boleh rujuk teks lengkap dalam Riwayat Abu Daud.

2.   Dalil yang mengatakan seorang wanita telah menemui Rasulullah s.a.w semasa
      ihram untuk bertanyakan soalan, kemudian Fudhail bin Abbas melihat wanita itu.
      Rasulullah memusingkan wajah Fudhail ke arah lain supaya tidak memandang
      wanita itu. Ini adalah kerana wanita itu tidak memakai purdah.(Pertikaiannya
      ialah Rasulullah tidak mengarahkan wanita itu berpurdah sebaliknya hanya
      memusingkan wajah Fudhail). Boleh rujuk teks lengkap dalam banyak kitab.
  1. Dalil ketiga ialah selepas menunaikan Solat Hari Raya, Rasulullah berkhutbah,
     seorang wanita bangun dan bertanya soalan kepada Rasulullah, dalam hadis ini
      menyatakan bahawa wanita itu wajahnya kemerah-merahan. (pertikaiannya,
       Rasulullah tidak menyuruh wanita itu berpurdah, sebaliknya hanya menjawab
      soalan-soalannya). Boleh rujuk teks lengkap dalam bnyak kitab.
Oleh yang demikian, kami berbincang tentang penjelasan ulama’-ulama’ bagi setiap hujah:
Bagi Surah al-Ahzab (33:59) menunjukkan perkataan ‘jalabibhinna’ yang ditafsirkan ‘tudung’ bagi sesetengah ulama’ dan ‘purdah’ bagi sesetengah yang lain.
Setelah berbincang, kami berpegang pada pendapat sahabat yang hidup pada zaman Nabi s.a.w iaitu Ibn Abbas yang menjelaskan bahawa perkataan ‘jalabibhinna’ ini bermaksud seluruh tubuh wanita wajib ditutup kecuali mata. Ini adalah kerana pada pendapat kami beliau adalah ulama’ tafsir yang paling memahami apa yang dimaksudkan dalam ayat al-Qur’an yang mulia ini kerana beliau hidup di zaman Nabi s.a.w.
Oleh itu, sebarang hujah ulama’ lain yang menghukum ia sebagai tudung tidak dapat dijadikan hujah memandangkan banyak ulama’ lain mentafsirkan bahawa ia bermaksud purdah juga. Oleh kerana pendapat ulama-ulama adalah pelbagai, tafsiran yang paling rajih sekali ialah melalui mufassir yang hidup pada zaman Nabi s.a.w. Oleh yang demikian,tafsiran yang paling rajih adalah tafsir Ibnu Abbas. Wallahua’lam.
Manakala bagi hadis pula:
Dalil yang paling banyak dibentang dalam mana-mana buku tentang AURAT WANITA ialah hadis riwayat Saidatina Aishah bahawa Nabi bersabda kepada Saidatina Asma’, “ Wanita apabila sudah baligh seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali ini dan ini”(Rasulullah s.a.w menunjukkan muka dan tangan).
Setelah berbincang, kami berpendapat seperti berikut: Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, oleh yang demikian kami rujuk kitab hadis Abu Daud dan mendapati bahawa Abu Daud mengatakan bahawa hadis ini mursal iaitu terputus sanadnnya, oleh yang demikian, tidak dapat dipastikan kesahihannya. Ini adalah kerana Khalid bin Duraik dikatakan tidak berjumpa dengan Saidatina Aishah r.ha. Oleh yang demikian, hadis ini tidak dapat menyangkal ayat al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan tidak pula bertentangan dengannya. Ini adalah kerana tidak dapat dipastikan kesahihannya kerana Abu Daud sendiri yang meriwayatkannya dan tidak pasti kesahihannya.
Dalil yang mengatakan seorang wanita telah menemui Rasulullah s.a.w semasa ihram untuk bertanyakan soalan, kemudian Fudhail bin Abbas melihat wanita itu. Rasulullah memusingkan wajah Fudhail ke arah lain supaya tidak memandang    wanita itu. Ini adalah kerana wanita itu tidak memakai purdah.(Pertikaiannya ialah Rasulullah tidak mengarahkan wanita itu berpurdah sebaliknya hanya memusingkan wajah Fudhail)
Kami berpendapat seperti berikut: Hadis ini dipertikaikan oleh ulama’ yang menghukum tidak perlu menutup muka ialah kerana Rasulullah tidak memerintahkan wanita itu menutup muka sebaliknya hanya menolehkan wajah sahabatnya Fudhail. Manakala menurut ulama’ yang menghukum wajib menutup wajah mengatakan bahawa ini berlaku ketika ihram. Sebagaimana kewajipan memakai purdah adalah terkecuali ketika solat dan ihram, maka wanita ini tidak wajib berpurdah kerana sedang berihram. Sebab itu, Rasulullah hanya menolehkan muka sahabatnya dan tidak memerintahkan wanita itu menutup mukanya. Oleh yang demikian kedua-duanya mempunyai hujah yang seimbang. Wallahua’lam.
Dalil ketiga ialah selepas menunaikan Solat Hari Raya, Rasulullah berkhutbah, seorang wanita bangun dan bertanya soalan kepada Rasulullah, dalam hadis ini menyatakan bahawa wanita itu wajahnya kemerah-merahan. (pertikaiannya, Rasulullah tidak menyuruh wanita itu berpurdah, sebaliknya hanya menjawab soalannya)
Kami berpendapat seperti berikut: Hadis ini menjadi hujah bagi yang mengatakan pemakaian purdah tidak wajib kerana wajah wanita yang berdiri itu kemerah-merahan, oleh yang demikian ia jelas terbukti wajahnya kelihatan. Namun pendapat ini dipertikaikan oleh ulama-ulama’ yang menghukum wajibnya purdah kerana hadis ini tidak tercatatkan bila, oleh itu terdapat kemungkinan ia berlaku pada solat hari raya antara tahun-tahun sebelum tahun kelima hijrah. Ini adalah kerana kewajipan menutup aurat diperintahkan pada tahun kelima hijrah sedangkan kewajipan solat hari raya pada tahun kedua atau ketiga hijrah. Selain itu, wanita ini juga berkemungkinan telah tua bangka kerana wanita yang telah menopause atau tiada berkeinginan berkahwin diizinkan menanggalkan purdahnya berdasarkan ayat al-Qur’an Surah an-Nur ayat ke-60. Oleh itu kedua-dua hujah adalah seimbang. Wallahua’lam.
Kesimpulannya, kami berpegang pada aurat wanita yang wajib ditutup adalah seluruh tubuh kecuali mata di hadapan lelaki ajnabi kecuali ketika solat dan ihram.

Oleh yang demikian tiada pertikaian mengenai menutup dahi atau tidak dan memakai sarung tangan atau tidak. Bagi yang berpegang pada sunat, perlulah berdasarkan dalil yang rajih yang telah dikaji begitu juga bagi yang berpegang pada wajib perlulah didasari kajian dan penelitian dalil yang adil dan bukan ikut-ikutan.
Bagi mereka yang berpegang pada wajib, namun tidak mendapat restu ibu bapa. Wajib berpurdah kerana kita bertanggungjawab pada Allah bukan pada manusia. Walaupun ibu kita menangis dan memulaukan kita. Kita wajib taat pada Allah. Tidak ada ketaatan pada ibu bapa di atas perkara-perkara maksiat. Adalah kemaksiatan bagi seorang ibu menyuruh anaknya menanggalkan purdah sedangkan anaknya berhukum pada wajib berdasarkan dalil yang paling rajih yang telah dikajinya. Oleh yang demikian seseorang itu tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan mazhab pegangannya. Jika dia berpegang pada wajib memakai purdah, maka tiada sesiapa boleh menghalang atau mengatakan ia wahabi atau ekstremis (berlebih-lebihan). Ini adalah kerana setiap orang ada mazhabnya sendiri dalam Fiqh, dan oleh itu tidak boleh mengatakan orang salah atau menuduh sembarangan atau menuduh orang lain berlebihan  hanya kerana ORANG LAIN YANG BERBEZA PANDANGAN sedangkan dia telah mengkaji tentang hukum tersebut. Maka, wajib atau sunat itu pendapatnya. Begitu juga apabila seseorang itu telah mengkaji bersungguh-sungguh tentang hukum purdah dan menghukum ia sebagai sunat, maka tiada sesiapa boleh memaksanya. Ini hanya dalam hal jika ia TELAH MENGKAJI DAN MENDALAMI ILMU MENGENAINYA.
Wallahua’lam bissowab.











Mazhab Hanafi
Pendapat Mazhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai purdah/niqab hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhuatiri wanita berkenaan akan menimbulkan fitnah.
1. Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih sahih dan merupakan pilihan mazhab kami.” (Matan Nuurul Iidhah)
2. Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki.” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
3. Al Allamah Al Hashkafi berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam solat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan.” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)
4. Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakkan wajahnya kerana khuatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Kerana jika wajah dinampakkan, lelaki melihatnya dengan syahwat.” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
5. Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama’ mazhab kami berkata bahawa dilarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, kerana dikhuatiri akan menimbulkan fitnah.” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahawa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai purdah/niqab hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhuatiri menimbulkan fitnah. Bahkan sebahagian ulama’ yang bermazhab Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita itu adalah aurat.
1. Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara wanita juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh kaum lelaki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekadar melihat ataupun untuk tujuan perubatan. Kecuali jika dikhuatiri akan menimbulkan fitnah atau tujuan lelaki melihat wanita untuk bersuka-suka, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
2. Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya mahupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali dalam keadaan darurat atau ada keperluan mendesak seperti persaksian atau perubatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan).” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
3. Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad (ulama besar Maliki) berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khuatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya dia menutup wajahnya. Jika dia wanita tua atau wajahnya buruk/hodoh, boleh baginya menampakkan wajahnya.” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
4. Al Hathab berkata:
واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح
“Ketahuilah, jika dikhuatirkan terjadi fitnah, maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat.” (Mawahib Jaliil, 499)
5. Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب
“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, katanya : ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki’. Al Hathab juga menukil dari perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahawa hukumnya wajib. Sebahagian ulama’ bermazhab Maliki menyebutkan pendapat bahawa hukumnya tidak wajib, namun lelaki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syeikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah memperincikan, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka ianya sunnah.” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)
Mazhab Syafi’ie
Pendapat mazhab Syafi’ie, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai purdah/niqab di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat muktamad mazhab Syafi’ie.
1. Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam solat (sebagaimana telah dijelaskan) iaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, iaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang muktamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti lelaki, iaitu antara pusat dan lutut.” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
2. Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An-Nawawi, ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam solat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusat hingga lutut. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan.” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
3. Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam solat. Adapun di luar solat, aurat wanita adalah seluruh badan.” (Fathul Qaarib, 19)
4. Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan kerana keduanya adalah aurat, namun kerana secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah.” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
5. Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya solat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (purdah) ketika solat. Kecuali jika di masjid keadaannya susah dijaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khuatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerosakan, haram hukumnya melepaskan (tidak memakai) niqab (purdah).” (Kifaayatul Akhyaar, 181)
Mazhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bahagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya.” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
1. Syeikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bahagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, kerana wajah bukanlah aurat di dalam solat. Adapun di luar solat, semua bahagian tubuh adalah aurat, termasuk wajahnya jika di hadapan lelaki. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusat hingga lutut.” (Raudhul Murbi’, 140)
2. Ibnu Muflih berkata:
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki/sarung kaki), kerana khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bahagian tangan.” (Al Furu’, 601-602)
3. Syeikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:
« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها »
“’Keduanya, iaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar solat kerana adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya.” (Kasyful Qanaa’, 309)
4. Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi.”


Foto : Umii Syarifah Aisyah binti Muhammad Al Haddad



Tidak ada komentar:

Posting Komentar