::Izinkan Aku Membelamu Yaa Rasulullah saw ::
Assalamu’alaikum
warahmatullahi warahmatullahi wabarakatuh ..
::Izinkan Aku Membelamu Yaa Rasulullah saw ::
Hari itu Nasibah tengah berada di dapur. Suaminya, Said tengah
beristirahat di kamar tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan
gunung-gunung batu yang runtuh. Nasibah menebak, itu pasti tentara
musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di sekitar Gunung
Uhud.
Dengan bergegas, Nasibah meninggalkan apa yang tengah
dikerjakannya dan masuk ke kamar. Suaminya yang tengah tertidur dengan
halus dan lembut dibangunkannya. “Suamiku tersayang,” Nasibah berkata,
“aku mendengar suara aneh menuju Uhud. Barang kali orang-orang kafir
telah menyerang.”
Said yang masih belum sadar sepenuhnya,
tersentak. Ia menyesal mengapa bukan ia yang mendengar suara itu. Malah
istrinya. Segera saja ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya.
Sewaktu ia menyiapkan kuda, Nasibah menghampiri. Ia menyodorkan sebilah
pedang kepada Said.
“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang….”
Said memandang wajah istrinya. Setelah mendengar perkataannya seperti
itu, tak pernah ada keraguan baginya untuk pergi ke medan perang. Dengan
sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda
menuju utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang
sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan
tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu makin mengobarkan keberanian
Said saja.
Di rumah, Nasibah duduk dengan gelisah. Kedua
anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih
muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah
tiba-tiba muncul seorang pengendara kuda yang nampaknya sangat gugup.
“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid…”
Nasibah tertunduk sebentar, “Inna lillah…..” gumamnya, “Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”
Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat itu, Nasibah memanggil
Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan, “Amar,
kaulihat Ibu menangis? Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah
syahid. Aku sedih karena tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan bagi
para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”
Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.
“Ambilah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terbasmi.”
Mata amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu
sejak dari tadi. Aku was-was seandainya Ibu tidak memberi kesempatan
kepadaku untuk membela agama Allah.”
Putra Nasibah yang
berbadan kurus itu pun segera menderapkan kudanya mengikut jejak sang
ayah. Tidak tampak ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di depan
Rasulullah, ia memperkenalkan diri. “Ya Rasulullah, aku Amar bin Said.
Aku datang untuk menggantikan ayah yang telah gugur.”
Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”
Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung
sampai sore. Pagi-pagi seorang utusan pasukan islam berangkat dari
perkemahan mereka meunuju ke rumah Nasibah. Setibanya di sana, perempuan
yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah
gerangan kiranya?” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi
membuka suaranya, “apakah anakku gugur?”
Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”
“Inna lillah….” Nasibah bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?”
Nasibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendegar itu, Saad yang tengah berada tepat di samping ibunya, menyela,
“Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan
bahwa Saad adalah putra seorang ayah yang gagah berani.”
Nasibah terperanjat. Ia memandangi putranya. “Kau tidak takut, nak?”
Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Sebuah
senyum terhias di wajahnya. Ketika Nasibah dengan besar hati melambaikan
tangannya, Saad hilang bersama utusan itu.
Di arena
pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia
13 tahun itu telah banyak menghempaskan banyak nyawa orang kafir. Hingga
akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di
dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu akbar!”
Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nasibah. Mendengar
berita kematian itu, Nasibah meremang bulu kuduknya. “Hai utusan,”
ujarnya, “Kausaksikan sendiri aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hanya
masih tersisa diri yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu
ke medan perang.”
Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau perempuan, ya Ibu….”
Nasibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku perempuan? Apakah perempuan tidak ingin juga masuk surga melalui jihad?”
Nasibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas saja
menghadap Rasulullah dengan kuda yang ada. Tiba di sana, Rasulullah
mendengarkan semua perkataan Nasibah. Setelah itu, Rasulullah pun
berkata dengan senyum. “Nasibah yang dimuliakan Allah. Belum waktunya
perempuan mengangkat senjata. Untuk sementra engkau kumpulkan saja
obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan
yang bertempur.”
Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nasibah
pun segera menenteng tas obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan
yang sedang bertempur. Dirawatnya mereka yang luka-luka dengan cermat.
Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk memberi minum seorang
prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba terciprat darah di rambutnya. Ia
menegok. Kepala seorang tentara Islam menggelinding terbabat senjata
orang kafir.
Timbul kemarahan Nasibah menyaksikan kekejaman
ini. Apalagi waktu dilihatnya Nabi terjatuh dari kudanya akibat
keningnya terserempet anak panah musuh, Nasibah tidak bisa menahan diri
lagi. Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang
rubuh itu. Dinaiki kudanya. Lantas bagai singa betina, ia mengamuk.
Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang
kafir pun tumbang. Hingga pada suatu waktu seorang kafir mengendap dari
belakang, dan membabat putus lengan kirinya. Ia terjatuh terinjak-injak
kuda.
Peperangan terus saja berjalan. Medan pertempuran makin
menjauh, sehingga Nasibah teronggok sendirian. Tiba-tiba Ibnu Mas’ud
mengendari kudanya, mengawasi kalau-kalau ada korban yang bisa
ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat seonggok tubuh bergerak-gerak
dengan payah, segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu.
Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Istri Said-kah engkau?”
Nasibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “bagaimana dengan Rasulullah? Selamatkah beliau?”
“Beliau tidak kurang suatu apapun…”
“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan? Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”
“Engkau masih luka parah, Nasibah….”
“Engkau mau menghalangi aku membela Rasulullah?”
Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah
payah, Nasibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke
pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalika nnya. Namun, karena
tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat
putus. Rubuhlah perempuan itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah
yang dicintainya.
Tiba-tiba langit berubah hitam mendung.
Padahal tadinya cerah terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.
Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Kalian lihat langit
tiba-tiba menghitam bukan? Itu adalah bayangan para malaikat yang
beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah
Nasibah, wanita yang perkasa.”
اَللَّهُمَّ صَلِِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلَىآلِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
....
Subhaanakallahu mma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illa anta Astaghfiruka wa atuubu ilaih..
Artinya :
(Maha suci ENGKAU YAA ALLAH,dan aku memuji-MU dan aku bersaksi bahwa
tiada ALLAH melainkan ENGKAU, aku memohon ampun dan bertaubat
kepada-MU)..
Semoga bermanfaat dan Penuh Kebarokahan dari Allah SWT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar