Hukum memakai niqab ( Cadar ) tidak wajib
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُ
Hukum memakai niqab ( Cadar ) tidak wajib
Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati
oleh para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama
yang mewajibkannya dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah. Namun kita
juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar itu bukanlah
kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti dengan sederet dalil
dan hujjah juga.
Dalam kajian ini, marilah kita telusuri masing-masing
pendapat itu dan berkenalan dengan dali dan hujjah yang mereka ajukan. Sehingga
kita bisa memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini secara bashirah dan wa`yu
yang sepenuhnya. Tujuannya bukan mencari titik perbedaan dan berselisih
pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang dasar
isitmbath kedua pendapat ini agar kita bisa berbaik sangka dan tetap menjaga
hubunngan baik dengan kedua belah pihak.
1. Kalangan Yang Mewajibkan Cadar
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka
(memakai niqab) berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat
wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain :
a. Surat Al-Ahzab : 59
`Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu`min: `Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka`. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.` (QS. Al-Ahzah : 59)
Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling
sering dikemukakan oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para
mufassirin terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk
menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan
semuanya, kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat
Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada
kesepakatan diantara mereka tentang makna `jilbab` dan makna `menjulurkan`.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan
nukilan pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di
surat An-Nuur yang berbunyi (kecuali yang zahir darinya), Ibnu Abbas justru
berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa
ayat ini sama sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita,
baik secara bahasa maupun secara `urf (kebiasaan). Karena yang diperintahkan
jsutru menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat
lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.
b. Surat An-Nuur : 31
`Katakanlah kepada wanita yang beriman: `Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.` (QS. An-Nur : 31).
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari
Ibnu Mas`ud bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah
wajah, karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud
dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahi
dari para shahabat termasuk riwayt Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas
dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa nampak
darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl (celak mata) dan cincin. Riwayat ini
menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c. Surat Al-Ahzab : 53
`Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka , maka
mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan
hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar di sisi Allah.`(QS. Al-Ahzab : 53)
Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat
ini untuk menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa
wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski khitab
ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena kepada semua wanita
mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan dan contoh yang harus
diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah
untuk menjaga kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para
istri nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka (istri nabi).
Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak
berbicara masalah kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para
shahabat Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya
dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi nanti
setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar mereka jangan
menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri Rasulullah SAW
sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini yang menceritakan
bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra bila kelak Nabi wafat. Ini
tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan
zina mata antara shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang
terlalu jauh dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi
yang agung.
Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir,
jelas-jelas merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi.
Tidak ada kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil ayah`.
Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan dengan istri nabi.
Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan seluruh wanita muslimah adalah
qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al fariq. Karena para istri nabi memang
memiliki standart akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam ayat Al-Quran.
`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti
wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan
ucapkanlah perkataan yang baik,` (QS. Al-ahzab : 32)
d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah
menggunakan sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan
Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
`Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya
(berniqab) dan memakai sarung tangan`.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya
para wanita itu memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram.
Sehingga perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka.
Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin beliau
melarangnya saat berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan
niqab dengan logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang
dilarang untuk melakukan sesautu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian
yang berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang halal
tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab, seharusnya memakai
niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan wajib. Karena semua larangan
dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan bukan wajib. Bagaimana bisa sampai
pada kesimpulan bahwa sebelumnya hukumnya wajib ?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan
penutup wajah, memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah
kewajiban. Dan ini adalah logika yang lebih tepat.
e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
“Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka
syetan menaikinya`.
Menurut At-turmuzi hadis ini kedudukannya hasan shahih.
Oleh para pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat,
termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah.
f. Mendhaifkan Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar
yang berisi bahwa, `Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak
bagian tubuhnya kecuali ini dan ini` Sambil beliau memegang wajar dan tapak
tangannya.
2. Kalangan Yang Tidak Mewajibkan Cadar
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar
berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan
banyak dalil serta mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga
pendapat salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.
a. Ijma` Shahabat
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa
wajah dan tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang
paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.
b. Pendapat Para Fuqoha Bahwa Wajah Bukan Termasuk
Aurat Wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita
ajnabi yang merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. (lihat Kitab Al-Ikhtiyar).
Bahkan Imam Abu Hanifah ra. sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah
wajah, tapak tangan dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak
bisa dihindarkan.
Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau
sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri
dituliskan bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi (yang bukan
mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan
termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam
kitabnya `al-Muhazzab`, kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita
merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah
berkata kitab Al-Mughni 1 : 1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang
wanita boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa
batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm
mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab
Al-Muhalla.
c. Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan
bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak
tangan. Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan
lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d. Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap
dhaif, ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan
melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga
ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut
sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih Jamius
Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.
e. Perintah Kepada Laki-laki Untuk Menundukkan
Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk
menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para wanita muslimah
memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
`Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
`Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat(QS. An-Nuur : 30)
Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan
bahwa,
Jangan lah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita)
dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua
adalah ancaman / dosa`. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizy dan Hakim).
Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi
perintah menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak
relevan lagi.
Sumber: http://goo.gl/Qz2Ih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar